Memaknai Ke-Bhinneka-an


     Alkisah pada waktu itu, Mpu Tantular sedang dihinggapi uneg-uneg tentang keadaan yang ada di negerinya, Majapahit. Iseng punya iseng uneg-uneg tersebut akhirnya tertumpah dalam sebuah syair nan indah, Sutasoma namanya. Siapa tahu, uneg-uneg dari seorang pujangga dari masa Hayam Wuruk ini menghadirkan resolusi yang terus menggema hingga ribuan tahun lamanya. "Bhinneka Tunggal Ika". Hingga waktu berjalan, dan seiring dengan itu, kalimat tadi semakin terproyeksi luas maknanya. Negeri yang ia cintai, Majapahit, terbukti mampu menyatukan para insan yang sebelumnya ditakdirkan untuk terpisah satu sama lainnya. Jika dipikir, bagaimana bisa insan-insan yang sekian mil jauhnya bisa disatukan dalam satu ide yang sama, padahal tidak ada jembatan yang menghubungkannya. Sebenarnya ada, namun bukan jembatan dalam bentuk fisik, namun dalam bentuk rasa. "Bhinneka Tunggal Ika".

     Alkisah, Negeri Majapahit yang berhasil menyatukan Nusantara pun mengalami kemunduran dan akhirnya runtuh. Tak ada yang abadi memang. Namun negeri ini memiliki peninggalan yang abadi, dan sangat berarti bagi para penerus perjuangannya. Majapahit dulu bercita-cita untuk menyatukan Nusantara dibawah satu nama, dan itu terwujud dengan apa yang kita kenal kini sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbeda nama, namun memiliki semangat yang sama untuk menyatukan insan-insan dibawah naungannya. Seiring berjalannya waktu, kini Indonesia berkembang menjadi negara dengan keragaman agama, suku, ras, dan budaya yang sangat tinggi. Meskipun berbeda-beda, setiap dari mereka dengan bangga menyebut dirinya sebagai "Orang Indonesia". Singkatnya, perbedaan sebenarnya ada untuk menyatukan kita. 

     Namun jika ditelaah, pernyataan di akhir paragraf tadi bukanlah kalimat implikatif, namun kalimat bi-implikatif. Kalimat tersebut dapat bermakna dua arah, bergantung pada siapa yang menjalaninya, dan apa kepentingannya. Dalam artian, perbedaan dapat digunakan untuk menciptakan persatuan, atau justru sebaliknya, mengacaukan persatuan. Kita tidak boleh munafik, akui saja kalau pembaca sekalian masih tidak suka dengan suku x karena salah satu sifatnya, tidak suka dengan agama y karena bertentangan dengan ajarannya. Percaya atau tidak, hal itu sudah tidak dapat dipungkiri lagi. Pertanyaannya, hal-hal baik yang dapat kita lihat dan pelajari dari mereka masih banyak, mengapa kok masih melihat hal-hal yang memicu perselisihan ?. Jangankan berbeda suku ataupun agama, satu suku beda klub bola pun saling baku hantam. Lantas dimana makna Bhinneka Tunggal Ika ?...

     Kemana makna Bhinneka Tunggal Ika kalau kita masih menganggap suku kita atau budaya kita jauh lebih hebat daripada milik orang lain ?. Ingatlah bahwa jika kita nyaman makan di suatu depot dengan sendok, garpu, dan piring yang tertata rapi, bukan berarti kita harus merendahkan orang yang makan di lesehan pinggir jalan dengan pulukan tangan. Setiap orang punya caranya sendiri-sendiri untuk menikmati makanan. Toh akhir-akhirnya juga sama-sama makan. Begitu juga masing-masing orang memiliki selera sendiri-sendiri terhadap kebudayaan masing-masing. Toh akhirnya juga memberi sumbangsih terhadap kekayaan intelektual di negeri yang kita cintai ini. Mengapa harus dibanding-bandingkan ?.

     Satu lagi, yang selalu hangat dibahas adalah masalah agama. Terkadang saya takut kalau menyindir masalah agama, takut jikalau besok bangun tidur saya didemo agar blog saya ini diblokir dan saya dipenjara. Entahlah. Isu agama memang menjadi isu sang panas di seantero negeri ini, isu agama begitu mudahnya meledak menjadi konflik yang sebenarnya mengancam persatuan negeri ini. Sebagian orang terlalu fanatik dengan agama yang dimilikinya, sehingga cenderung merendahkan, atau bahkan "men-sesat-kan" agama lain. Menurut hemat saya, agama itu adalah jalan. Jalan yang kita tempuh untuk memahami Yang Menciptakan kita. Anggaplah jika anda dari Malang ingin ke Banyuwangi lewat Jalur Situbondo, maka dapatkah anda mengatakan bahwa orang yang dari Malang ke Banyuwangi lewat Jalur Jember sesat hanya karena jalannya berbeda ?. Toh, ujung-ujungnya juga sampai ke Banyuwangi juga kan ?.

     Untuk menutup tulisan ini coba saya kutip sebuah kalimat dari film Harry Potter and the Goblet of Fire (2000). Disana, sang kepala sekolah, Albus Dumbledore berkata bahwa 

"Perbedaan kebiasaan dan bahasa tak berarti apa-apa selama tujuan kita sama dan hati kita terbuka"
     Tujuan kita sudah jelas, terangkum dalam makna "Bhinneka Tunggal Ika". Negeri ini diciptakan untuk menyatukan setiap insan yang ada diseluruh pelosok Nusantara. Pertanyaannya adalah "Maukah kita membuka hati kita terhadap perbedaan?" .




Komentar

Postingan Populer