Ideologi Konservasi


"KONSERVASI"
      Kata diatas, meskipun tidak dicetak tebal, ditulis miring, digaris bawah, atau diimbuhi petik pun orang modern pasti sudah memahaminya. Kalaupun belum paham itu bukan berarti orang tersebut tidak modern, mungkin yang bersangkutan pernah mendengar, melihat atau bahkan melakukannya secara "kebetulan". Jikalau kita melihat Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 yang mengatakan sebagai berikut:

 "Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaanya dengan tetap memelihara kualitas keanekaragaman dan nilainya"

     Paham ?... 

    Kalau belum, mungkin kita sama. Sama-sama sukar memahami pengertian secara yuridis. Memang begitulah Undang-Undang, bahasanya formal dan kompleks. Namun disamping panjangnya rangkaian kata tersebut setidaknya kita mendapatkan tiga hal mendasar untuk mengantarkan kita memaknai kata "Konservasi". Kata pertama adalah memelihara, kedua adalah kesinambungan, dan ketiga adalah pemanfaatan

     Kok kelihatanya dibalik ?...

     Dibalik bukan berarti terbalik, memang sengaja saya menyebutkan kata nya berurutan dari belakang ke depan, mengapa ? coba sedikit saya jelaskan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa goal dari konservasi adalah pemanfaatan, namun untuk menuju kesana, perlu kita imbuhkan kata ber-kesinambungan dibelakangnya, supaya tidak salah faham. Karena pemanfaatan yang tidak disertai kata ber-kesinambungan dibelakangnya adalah bunuh diri bagi sistem yang sudah ada. Namun menggabungkan dua kata tersebut tidak semudah yang kita kira, bak dua sejoli yang sedang dimabuk asmara, kalau ingin segera menikah harus ada yang mengikatkan mereka, kalau tidak ingin berujung kawin lari. Meskipun kata ini ada dan sangat nyata, namun dia tidak disebutkan ketika dua kata tersebut bersatu, sama halnya meskipun penghulu yang mengawinkan kedua mempelai, sang penghulu tidak akan masuk kedalam kartu keluarga kedua mempelai. Bukan begitu hadirin ?..

     Kata tersebut adalah kata pertama yang saya sebutkan tadi, memelihara, sang penghulu yang menggabungkan dua kata setelahnya. Tapi tolong jangan sebut dia sebagai orang ketiga, nanti dia sakit hati. Jadi, kesimpulannya, untuk mewujudkan pemanfaatan berkesinambungan, dibutuhkan suatu usaha untuk memelihara sistem yang ada di dalamnya. Sistem disini bisa diartikan sumber daya alamnya (SDA) ataupun sumber daya manusianya (SDM). Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan karena saling berkaitan,  SDA-nya tak terpelihara, SDMnya menderita. Begitu singkatnya. 

     Sehingga, muncul pertanyaan bagaimana kita bisa membuat SDA mampu selaras mampu memenuhi kebutuhan SDM hingga seterusnya, tanpa menurunkan kualitas ataupun memusnahkan SDA itu sendiri. Meskipun kenyataannya, di banyak tempat SDA dimanfaatkan secara besar-besaran untuk kesejahteraan SDM tanpa memperdulikan kesinambungannya. Contohnya silahkan browsing saja, tak kurang-kurang media massa dan media online mempublikasinya. Sesulit itukah memadukan dua unsur pengelolaan ini ?... Sejarah kita tidak berkata demikian...   

     Kalau anda tidak asing dengan kata Sasi, Awig-awig, Panglima Laot, Lubuk Larangan, ataupun Mane'e, berarti anda sudah tidak asing dengan jawabannya. Masyarakat tradisional kita, dalam hukum adatnya sudah mengenal obat mujarab untuk menyelaraskan antara kesinambungan SDA dengan kebutuhan SDM. Jikalau masyarakat adat yang tradisional sudah sejak dulu bisa menyelaraskannya, mengapa kita masyarakat modern masih merasa sulit untuk menerapkannya ?... Teknologi kita lebih canggih, peraturan kita sudah tertulis, dan pintu wawasan kita sudah terbuka lebar. Dalam sudut pandang konservasi, jika anda masih menganggap konservasi itu susah diterapkan, maka saya anggap kita sedang mengalami kemunduran, saya anggap logika orang kuno yang memprioritaskan agar anak cucunya bisa memanfaatkan SDA di masa depan mengalahkan logika orang modern yang beranggapan kalau saya tidak dapat banyak maka saya tidak bisa makan

     Benarkah anggapan itu ?... Coba kita cross-check sejenak, Indonesia adalah negara maritim dengan gugusan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan berada tepat ditengah bumi apabila bumi dibelah menjadi bagian utara dan selatan. Kondisi tersebut menjadikan tanah air kita berlimpah dengan sumber daya yang seharusnya mampu atau bahkan lebih dari cukup memenuhi semua kebutuhan warga negaranya. Namun kenyataannya, di dalam pemanfaatan sumber daya itu sendiri pun kita seringkali diposisian ditengah dua partai dengan ideologi yang saling bertabrakan. Partai Pertama menganut faham "Sekali dayung, dua - tiga pulau terlampaui". Dalam artian bahwa jika semakin tahun setiap sektor produksi semakin besar keuntungannya, maka negara ini semakin makmur, sedangkan Partai Kedua menganut faham "Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian", dalam artian bahwa SDA itu hanya pinjaman dari masa depan, barang siapa mengambil, bertanggung jawab mengembalikan untuk masa yang akan datang. 

     Sebagian berfikir bahwa kalau mengikuti Partai Pertama, hidup akan makmur sejahtera karena semua sumber daya yang ada dapat dimaksimalkan untuk kebutuhan bersama. Sedangkan kalau kita mengikuti Partai Kedua, siap - siaplah untuk menahan rasa lapar saudara untuk sejenak. Namun jika kita lihat ke depan, partai pertama terlalu memanjakan para pengikutnya untuk masa sekarang. Di masa depan, ketika sumber daya mereka sudah tekor, mereka akan disibukkan dengan main salah-salahan ataupun sibuk mencari sumber daya lain yang bisa sekali lagi dikorbankan. Kalau saya bilang mirip dengan pergaulan bebas anak jaman sekarang saya takut disemprot pembaca sekalian. Partai kedua, jika dilihat memang butuh pengorbanan untuk mengikutinya, seperti saya jelaskan tadi, penganut partai kedua harus bersiap - siap untuk lapar. Namun jangan khawatir, laparnya hanya sejenak. Seperti orang yang berpuasa rela untuk berlapar - lapar selama setengah hari untuk merasakan bagaimana nikmatnya berbuka saat adzan maghrib menggema, semua itu dilakukan untuk mendapatkan Ridho-Nya. begitulah konservasi, bagaimana kita rela membatasi diri untuk tidak memanfaatkan SDA itu melebihi batasnya untuk merasakan kelimpahan SDA tersebut dikemudian hari, semua itu untuk kepentingan bersama, untuk kita, dan anak-cucu kita nantinya. Tuh... Jadi dengan berpuasa saja sebenarnya kita sudah melakukan konservasi. Sama halnya dengan berpuasa, konservasi itu tidak sulit jika ada niat yang pasti untuk menjalaninya. 
  
     Memang kalau menyangkut masalah ideologi, tiap orang akan mempunyai idealisme sendiri-sendiri. Setengah mati pasti usaha kita untuk menarik orang masuk kedalam pola pikir konservasi, apalagi ketika idealisme mereka bersebrangan dengan ideologi konservasi. Sama halnya meskipun kita punya obat mujarab yang ampuh mengobati segala penyakit, kalau yang bersangkutan tidak merasa sakit pasti tidak akan mau mencoba. Jadi, perlukah kita menunggu yang bersangkutan untuk "merasa sakit", atau justru kita perlu menyadarkan yang bersangkutan bahwa dia sebenarnya "sedang sakit" namun tidak dirasakan. Terlepas dari itu semua, menurut pengalaman saya, mereka yang sudah melekatkan diri pada ideologi konservasi akan mengalirkan nafas konservasi di dalam seluruh urat tubuhnya, tercermin dalam perilakunya, dan membentuk trinitas antara lingkungannya-dirinya-dan Penciptanya.

Komentar

Postingan Populer