Hari Ikan Nasional: Antara Peringatan dan "Peringatan"


     Tiga hari yang lalu, tepatnya 21 November 2016 adalah Hari Ikan Nasional, hari yang didedikasikan untuk mengenang pentingnya ikan sebagai bahan pangan yang bergizi tinggi. Terlebih lagi bahwa kita adalah negara maritim, dimana sekitar 65% wilayah kita adalah perairan. Luas lautan kita kurang lebih 3.5 juta kilometer persegi, yang mencakup luas perairan teritorial plus Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang sudah diakui oleh UNCLOS. Dengan laut yang sedemikian luas, Indonesia mengandung berbagai macam sumber daya ikan yang melimpah dan bermacam-macam. Kalau kita tilik sejenak pengertian ikan menurut UU No. 31 Tahun 2004 mengenai Perikanan adalah sebagai berikut:

"Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan."

     Kalau dilihat dari pengertian tersebut, ikan sebenarnya tidak hanya terbatas pada ikan bersirip saja, namun juga mencakup hewan lunak (cumi, gurita, dan sotong), hewan bercangkang (siput dan kerang), hewan berkulit keras (kepiting, udang, dan lobster), hewan berduri (bulu babi dan teripang), reptil (penyu, biawak, dsb), mamalia (paus dan lumba-lumba), terumbu karang, hingga rumput laut. Pengertian tersebut jelas juga berfungsi sebagai pertanda bahwa Indonesia mempunyai keberagaman potensi perikanan yang sangat tinggi. Bahkan jika tidak dibatasi pengertiannya, Nelayan pun juga akan diartikan sebagai ikan karena "seluruh atau sebagian siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan". Tapi kan ndak ada data tangkapan nelayan di TPI Mas?. Sebenarnya ada, kalau hasil tangkapan ikan itu dilaporkan ke pelabuhan perikanan, hasil "tangkapan" nelayan itu biasanya dilaporkan ke Poskamladu.


     Berawal dari sana, maka atas usul Kementrian Kelautan Perikanan, Pak SBY mengeluarkan Keppres No. 3 Tahun 2014 pada tanggal 24 Januari 2014, yang isinya adalah setiap tanggal 21 November diperingati sebagai Hari Ikan Nasional. Hari ini pun juga bertepatan dengan World Fisheries Day yang jatuh pada tanggal yang sama. Maka untuk memperingatinya, pemerintah menjalankan program untuk meningkatkan tingkat konsumsi ikan di Indonesia, karena tingkat konsumsi ikan di Indonesia sebesar 35 kg/kapita pada tahun 2013 masih lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang tingkat konsumsi ikan ada tahun 2013 mencapai 55 kg/kapita. Saqngat kontras dengan luas perairan kedua negara. Pertanyaannya sekarang, mengapa konsumsi ikan yang ditingkatkan ?. Alasannya adalah bahwa sektor perikanan adalah sektor perekonomian yang melibatkan seluruh strata masyarakat di dalamnya. Dengan tingginya konsumsi ikan, maka diharapkan perekonomian lokal dan nasional juga akan ikut membaik. Benarkah demikian ?.

     Untuk mendukung tingginya tingkat konsumsi ikan di masyarakat, maka diperlukan pula tingkat produksi ikan yang tinggi untuk menyeimbangkan antara persediaan barang dan kebutuhan. Sebenarnya, hasil perikanan kelautan kita cukup untuk meningkatkan konsumsi ikan di negeri ini, dan bahkan lebih. Namun mengapa kenyataannya tingkat konsumsi ikan kita masih rendah ?. kemungkinan pertama adala bahwa ikan yang ditangkap oleh nelayan masih belum terdistribusi merata karena infrastruktur. Toh sebenarnya masyarakat yang tinggal jauh dari pesisir juga masih bisa memanfaatkan ikan hasil budidaya ataupun penangkapan di perairan umum. Kemungkinan kedua adalah bahwa perikanan kita masih bertumpu pada komoditi ekspor. Sudah bukan rahasia lagi jika ikan dengan kualitas top jika mendarat di pelabuhan perikanan pasti akan langsung diangkut pick up menuju antah berantah, beda dengan ikan yang kurang memiliki peminat di pasar global yang langsung diecer di jalan-jalan pelabuhan. Kalau kita perlu melirik kebelakang pun kenyataannya lebih pedih. Tuntutan produksi perikanan yang tinggi dan terus tumbuh tiap tahunnya ternyata mencekik kita secara perlahan, sebut saja Bagain Siapi-api yang dulu hasil perikananya pernah menjajaki posisi kedua di dunia setelah Kota Bergen, Norwegia, kini mati suri. Atau kisah tentang produksi lemuru di Muncar yang dulu menggunung tinggi, kini harus merenung gigit jari. Maka, setujukah kita melakukan perayaan "mari mengkonsumsi ikan" jika kenyataannya beberapa kawasan di negara ini mengalami paceklik ikan yang berkepanjangan ?. 

     Kalau coba kita crosscheck, terumbu karang kita digadang-gadang sebagai Amazon-nya perairan laut. Terumbu karang kita menopang beragam kehidupan laut yang mendukung pemanfaatan di sektor kelautan perikanan. Namun kenyataannya, terumbu karang kita yang seluas 85.000 km persegi, ternyata hanya kurang dari 10% yang dinyatakan dalam keadaan sangat baik. Artinya, perairan kita kini lebih mirip padang pasir dengan oase-oase yang tercecer ketimbang Hutan Amazon. Andaikata di Hutan Amazon, kalau kita mencari sumber air tawar tidak usah bingung, karena tinggal lari ke Sungai Amazon saja, begitu juga dengan negara kita, jika dianggap Hutan Amazonnya perairan, maka seharusnya untuk mencari sumber ikan kita tidak usah mencari jauh-jauh. Namun kenyataannya, rumpon yang digunakan nelayan untuk mencari ikan pelagis semakin tahun semakin jauh dari daratan. Kalau sumber ikan itu bisa diakses dengan mudah, perahu Jawa Tengah tidak mungkin merapat ke Bawean untuk cari ikan, toh di Jawa Tengah lautnya juga luas. Kalau sumber ikan itu bisa diakses dengan mudah, nelayan Makassar tidak akan rebutan dengan nelayan Sapeken untuk mencari ikan, toh semuanya pasti bakal kebagian. 

    Kenyataannya, sektor kelautan kita yang menjanjikan ternyata juga sekedar janji saja. Sama halnya ketika Koes Plus menggambarkan lautan kita sebagai kolam susu dikala tidak semua orang di negeri ini punya duit untuk membeli susu. Maka, sudah seharusnya jika Hari Ikan Nasional ini tidak kita peringati dengan beramai-ramai mengkampanyekan konsumsi ikan saja, namun juga sebagai peringatan bahwa sektor kelautan kita perlu perhatian untuk dilestarikan untuk kesejahteraan bersama dan tentunya untuk memperkuat jati diri kita sebagai Negara Maritim di kancah dunia.

Komentar

Postingan Populer