Mengapa Beberapa Spesies Lebih Rentan Terhadap Kepunahan ?

-www.tiger.org.au-
    Populasi manusia, pada dasarnya, terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan ukuran populasi manusia ini pun juga menandakan berkembangnya laju konsumsi sebagai akibat dari kebutuhan dasar manusia untuk tetap bertahan hidup. Kebutuhan dasar manusia berupa sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (tempat tinggal) sudah menyumbang sebegitu banyak alasan dibalik tingginya tingkat konsumsi manusia belakangan ini. Meskipun kebutuhan lain (sekunder atau tersier) juga ikut berpengaruh, namun tiga kebutuhan dasar inilah yang memiliki dampak yang sangat besar terhadap rakusnya manusia terhadap sumber daya alam belakangan ini. Selagi manusia masih sibuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka lupa bahwa mereka tidak hidup sendirian di dunia ini. Di alamnya sendiri, hewan pun juga butuh kehidupan yang layak, namun berbagai kegiatan manusia yang dilakukan untuk memenuhi hajat hidupnya membuat para satwa ini semakin terhimpit keberadaannya.

     Perkembangan peradaban manusia pun sebenarnya sudah mendekatkan manusia kepada alam. Tengok saja kini penginapan - penginapan di Kota Dingin Batu kini halaman belakangnya sudah nempel sama alam terbuka. Sebuah poin plus untuk menarik wisatawan yang ingin merasa dekat dengan alam. Namun, dekat disini masih jauh artinya dengan "dekat" yang saya maksud. Selama manusia terus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memikirkan dampak yang ia timbulkan kepada lingkungannya, itu berarti mereka belum "sedekat itu" dengan alam. Meski beberapa gelintir orang sudah mulai melakukan "pendekatan" terhadap alam dengan melakukan hal - hal yang bertujuan oleh pelestarian alam sekitarnya. Mulai dari yang menyebarkan kesadaran akan kelestaian alam hingga mereka yang turut andil dalam usaha pelestarian alam itu sendiri. Beberapa gelintir manusia sudah mulai mengadaptasikan pola konsumsinya supaya tetap seimbang dengan alam sekitarnya, harapannya supaya menghindari dampak buruk yang cukup signifikan dari kegiatan konsumsi mereka.

-nimadesriandani.files.wordpress.com-
     Bicara tentang adaptasi, sebenarnya beberapa jenis satwa pun juga sudah mulai beradaptasi terhadap lingkungan urban. Petik saja burung pipit (Lonchura punctulata) atau manuk emprit sebagai contohnya. Seringkali kita menjumpai jenis burung ini bertengger diatas pepohonan ataupun kabel listrik yang ada di perkotaan, meramaikan kota dengan ciutannya. Meskipun nyanyiannya tak semerdu burung pipit yang asli dari desa. Beberapa kali juga sering saya lihat bajing (Callosciurus spp.) berkeliaran di taman - taman kota dan beberapa jenis ular yang kebetulan mampir menandakan bahwa hewan - hewan tersebut sudah mulai bisa untuk menempatkan diri diantara kerumunan manusia yang semakin menghimpit tempat tinggal asli mereka.

-greentigrate.com-
     Namun tidak semua hewan demikian, bahkan, beberapa hewan memiliki sifat (atribut) spesifik yang justru membuat mereka semakin terancam keberadaannya. Mari kita ambil salah satu atribut itu untuk kita bahas, semisal, sifat hewan itu adalah 'memiliki daerah penyebaran yang terbatas', dalam artian hewan tersebut memang hanya mendiami satu kawasan geografis tertentu, dan ummnya tidak dapat ditemukan di tempat lainnya. Kita dapat mengambil kisah dari Harimau Bali (Panthera tigris balica) yang gagal untuk melanjutkan kelangsungan hidupnya karena harus berimpitan tempat hidup dengan manusia di tempat yang sangat terbatas. Sehingga dengan punahnya Harimau Bali dan tidak jelasnya keberadaan Harimau Jawa (P. t. sondaica), kini Indonesia hanya mempunyai satu spesies harimau, yakni Harimau Sumatera (P. t. sumatrae), yang digadang - gadang sebagai spesies harimau yang baru karena keunikan genetiknya namun para ahli mengurungkannya karena menganggap hewan ini tidak akan bertahan hingga 50 tahun kedepan. Contoh lainnya yang bisa kita ambil adalah bagaimana kisah badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang masih terseok - seok melanjutkan kelangsungan hidupnya di Ujung Kulon. Daerah penyebaran mereka diujung barat Pulau Jawa ini pun juga membuat para konservator ketir-ketir. Bagaimana tidak ?, bayangkan jika gugusan Gunung Krakatau di Selat Sunda itu erupsi lagi dan menimbulkan gelombang tsunami, maka populasi badak jawa yang tinggal 63 ekor itu pun bisa langsung tersapu habis tanpa sisa. Atribut ini pula yang menyebabkan lembaga internasional seperti CITES, ingin memasukkan ikan capungan layar (Pterapogon kauderni) kedalam Appendiks II untuk membatasi kuota ekspor ikan yang juga disebut sebagai Banggai Cardinalfish ini. Alasannya adalah bahwa daerah penyebaran ikan ini hanya terbatas di sekitar Kepulauan Banggai, Sulawesi, dan populasinya pun terpecah - pecah.  Sayangnya, usulan CITES pada tahun 2007 ditolak begitu saja oleh Pemerintah Indonesia, sehingga ikan endemik yang termasuk ke dalam kategori Endangered menurut IUCN ini pun ditinggalkan tanpa adanya perlindungan yang pasti.

-http://footage.framepool.com
     Beberapa hewan lain, lebih cenderung memiliki pola reproduksi yang sangat lama dan dengan jumlah anakan/telur yang sedikit. Kita ambil contoh semisal pada gajah sumatera (Elephas maximus sumatrae) ataupun gajah kalimantan (Elephas maximus borneensis) yang memiliki masa kehamilan selama 18 hingga 22 bulan, dan hanya melahirkan seekor bayi gajah. Pola reproduksi yang lambat ini pun juga menyebabkan spesies ini semakin terancam apabila laju kematian hewan ini (akibat dari perbuatan manusia ataupun adanya faktor lain) lebih tinggi daripada laju kelahirannya. Satwa yang penyebaranya sudah terbatas akibat dialih fungsikannya hutan menjadi perkebunan sawit ini pun juga seringkali diburu ataupun diracun, karena dianggap mengganggu aktivitas perkebunan. Contoh lain yang mungkin agak mengejutkan adalah orang utan (Pongo sp.) yang memiliki jarak antar masa subur selama 1 hingga 4 tahun, tergantung pada usia hewan ini sendiri, dan bahkan, jika orang utan itu melahirkan, jarak waktu agar ia bisa melahirkan kembali adalah selama 8 tahun. Interval ini merupakan interval kelahiran terlama diantara kera - kera besar lainnya. Jika kita hitung masa hidup orang utan yang dapat mencapai usia 30 tahun, dan orang utan mulai bisa bereproduksi pada usia 14 - 15 tahun, ini berarti dalam masa hidupnya orang utan hanya memiliki kesempatan untuk melahirkan sebanyak dua kali saja. Bayangkan dengan keadaan populasi yang terhimpit oleh aktivitas perkebunan, orang utan juga harus menghadapi kenyataan bahwa mereka ditakdirkan untuk memiliki pola reproduksi yang sangat lambat.

-www.suarasurabaya.net-
     Selanjutnya, beberapa hewan memiliki nilai komersil yang sangat tinggi, sehingga hewan ini rentan menjadi korban 'perburuan' manusia yang tidak bertanggung jawab. Kita ambil contoh ketam kenari (Birgus latro) dan kima (Tridacna spp.) yang merupakan hewan yang dilindungi oleh undang - undang, namun masih banyak diburu karena nilai ekonomisnya yang sangat tinggi. Bayangkan saja, sepiring hidangan dengan bahan utama ketam kenadi ataupun kima bisa dihargai hingga belasan dan bahkan puluhan juta rupiah di sebuah rumah makan di Singapura. Hal ini pula yang mngin membuat beberapa orang tergiur dan melakukan perburuan yang sebenarnya sudah melanggar undang - undang. Kasus lain seperti bagaimana populernya sup sirip ikan hiu di Asia Timur dan Tenggara mendongkrak permintaan akan pasokan sirip ikan hiu. Hal ini yang menjadikan shark finning dan praktik penangkapan illegal dan tidak ramah lingkungan semakin menjadi - jadi. Karena permintaan pasar mendorong para nelayan untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan berbagai cara yang mungkin ditempuh. Meskipun telah diterbitkan undang - undang yang melarang penangkapan beberapa jenis hiu tertentu, nyatanya masih ada hasil tangkapan hiu yang didaratkan di beberapa pelabuhan perikanan dan restoran yang menyajikan sirip hiu di dalam menunya pun masih beredar luas. Hal ini pula yang menuntun masyarakat Pantai Selatan Jawa untuk ber-ramai-ramai menangkap anakan (benur) lobster karena alasan ekonomi. Jika kita bayangkan, dengan effort yang lebih kecil, para nelayan dalam semalam dapat menangkap hingga ribuan benur lobster yang tiap ekornya bisa dihargai Rp. 5000,- hingga Rp. 25.000,-. Jika dalam semalam nelayan bisa menangkap 1000 ekor benur saja, maka dalam semalam ia sudah mengantongi uang Rp. 5.000.000,-. Bandingkan dengan effort mereka untuk menangkap ikan di tengah samudera namun hasilnya masih belum pasti. Inilah kenyataan yang menimbulkan tekanan terhadap kelestarian sumber daya hayati itu sendiri.

      Mungkin sudah sepantasnya untuk menyadari, bahwa umat manusia, di dunia ini tidak hidup sendiri. Mereka seharusnya hidup berdampingan dengan makhluk lain yang juga berperan penting untuk menjaga keberlangsungan ekologi pada suatu daerah yang nantinya juga akan berdampak pada ketersediaan barang dan jasa lingkungan yang mampu memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk lain yang ada disekitarnya. Manusia pun juga selayaknya sudah mempertimbangkan arah pola konsumsi mereka menuju pola konsumsi yang lebih bertanggung jawab, agar kegiatan yang mereka lakukan tidak mengganggu atau bahkan memusnahkan kehidupan lain yang sebenarnya memiliki hak - hak kehidupan yang sama dengan kita.

Komentar

Postingan Populer